Sebagai salah satu upaya pengurangan resiko bencana, Yayasan Pusaka Indonesia (YPI), CRS dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) memasang secara simbolis rambu-rambu rawan bencana, sebagai langkah awal rencana aksi pengurangan risiko bencana yang dilakukan oleh komunitas.

Rambu yang dipasang untuk wilayah Kabupaten Sigi meliputi Desa Bolapapu, Namo, Salua Kecamatan Kulawi dan Tuva di Kecamatan Gumbasa, merupakan upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana.

Kabid Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Sigi, Sri Idawati sangat mengapresiasi pemasangan rambu-rambu bencana yang dilakukan YPI, CRS dan Kelompok Pengurangan Risiko Bencana (PRB) desa, ini merupakan salahsatu langkah untuk meningkatkan kesiapsigaan terhadap bencana di Kabupaten Sigi.

Rambu ini setidaknya dapat menjadi peringatan kepada warga sekitar agar tetap waspada jika mengahadapi situasi bencana. “Rambu itu juga dipasang untuk meminimalisir potensi terjadinya korban jiwa dan sumber kehidupan akibat bencana, masyarakat yang berdomisili pada daerah yang berbahaya, dapat menyelamatkan diri di titik kumpul yang aman,” sebutnya.

“Bencana menjadi urusan bersama, bencana bisa datang kapan saja. Bukan hanya Pemerintah, harapannya sinergi Pemerintah Daerah serta masyarakat bersama membangun masyarakat Kabupaten Sigi sadar bencana dan faham apa yang dilakukan,” imbuh Sri Idawati.

Sementara Koordinator Program YPI – CRS, Marjoko dalam siaran persnya yang diterima mimbarrakyat.id, Sabtu (22/08/2020) mengungkapkan sebenarnya tempat titik kumpul, jalur evakuasi dan tanda bahaya lainnya, sejatinya sudah cukup familier di masyarakat, artinya sebagian besar masyarkat sudah mengetahuinya, tetapi masyarakat biasanya bingung dan panik saat terjadinya bencana.

Karenanya, pihaknya juga akan melakukan simulasi kesiapsiagaan bencana. Hal itu dirasa perlu agar masyarakat semakin siap. Apalagi sudah terpasang rambu. Marjoko berharap masyarakat semakin tangguh dan kerugian akibat munculnya bencana semakin diminimalisir.

“Untuk tahap awal kami akan pasang sebanyak enam puluh unit dan selanjutnya akan dipasang empat puluh unit lagi. YPI dan CRS juga membagikan megaphone sebagai bagian dari upaya system peringatan dini disaat bencana datang,” kata Marjoko

Sementara itu, Senior Project Officer dari CRS Indonesia untuk Program Disaster Risk Reduction-Livelihood (DRR-Livelihood), Djuneidi Saripurnawan menyatakan bahwa lebih daripada sekedar rambu-rambu tersebut, adalah kesadaran dan pemahaman warga yang terancam bencana bisa melakukan evakuasi mandiri, tinggal mengikuti petunjuk yang ada di jalan dan tempat-tempat tertentu. Di mana berkumpul, sudah ada rambu titik kumpul. Setiap jalur yang sering dilewati dipasangi rambu sebagai petunjuk sehingga saat bencana akan membantu mengarahkan warga yang umumnya panik ketika terjadi bencana.

“CRS dan Yayasan Pusaka Indonesia sudah berprogram selama 19 bulan di 6 desa di Kabupaten Sigi dan Donggala untuk DRR-Livelihood Program, pendekatan partisipatif aktif dari komunitas dikedepankan dengan konsep CLDRM (Community Led Disaster Risk Management) dan penguatan komunitas melalui pendekatan program SILC (Saving and Internal Lending Communities) microfinance yang diperkenalkan CRS sejak 2001 di benua Afrika. Penguatan kapasitas dalam kerangka DRR-Livelihood lebih berpeluang besar untuk berkelanjutan, apalagi bila sejak awal melibatkan segenap komponen masyarakat dan stakeholder lokal, termasuk pemerintahan desa. Masyarakat aktif sejak awal program CLDRM berjalan,” tambah Djuneidi Saripurnawan dengan nada semangat.

“Yang perlu kita lakukan adalah menjaga kesadaran bersama, pemahaman dan sikap positif terhadap situasi bencana agar dapat meminimalkan dampak dan korban jiwa, dan Kelompok Forum PRB kedepannya dapat terus menerus mensosialisasikan ini kepada masyarakat, ”sambungnya.

(mimbarrakyat.id, Sarwo/rill)